borobudur temple |
Kamis, 12 Januari 2012
Strategi China Untuk Mencapai Kepentingan Ekonomi Politik Dala Mewujudkan ASEAN-China Free Trade Area
Abstract
ASEAN-China Free Trade
Area or written with the title ACFTA in this research is a form of regional
cooperation with ASEAN China Among the prevailing officially began January 1,
2010. in general, this partnership aims to increase trade volume of both
parties; minimize trade barriers and strengthening China-ASEAN economic
relations, and creating a promising market opportunities and larger economies
of scale. Several internal and external factors into the motivation of China
on cooperation in the manufacture of ACFTA. Economic circumstances, political,
and security was the subject of attention the author in describing the Chinese
motivations. In this research, the author uses the concept of negotiation to
get the answers to the formulation of the problem. The things that happened
along with the cooperation of ACFTA cultivated as much as possible to conform
with the national interest be China .
Negotiations ACFTA that China
executed a form of harmony between international co-operation agreement with
the policy and political economy of China . Thus China can
achieve greater benefits when disbandingkan with ASEAN countries. Then the
strategy is part of the compromise and competition between China and ASEAN
countries. The use of derivatives is an effort to maintain the argument,
promise, offer kindness, and making progress with a series of deals that
benefit both parties peacefully.
A. Pendahuluan
Dalam
studi hubungan internasional, kehadiran kerjasama ASEAN-China Free Trade Area
(ACFTA) sangat menarik untuk dikaji. Beberapa peneliti sebagaimana tercantum
dalam literatur acuan telah membahas ACFTA dengan menggunakan analisa yang
beragam. Tesis ini akan membahas mengenai strategi China dalam mencapai
kepentingan ekonomi politik dalam ACFTA. Penulis
menganggap bahwa dengan mengetahui secara pasti strategi antara kerjasama yang akan dibuat dengan
kebijakan dan kepentingan nasional, negara dapat mengetahui manfaat dari sebuah
kerjasama. Dengan demikian negara dapat dengan mudah menganalisa keadaan serta
menyusun strategi yang tepat untuk mencapai keberhasilan di dalam proses
pembuatan kerjasama. Kajian ACFTA dalam tesis ini akan penulis awali dengan memaparkan
latar belakang terbentuknya kerjasama ACFTA.
Sejak berada di bawah kekuasaan Partai Komunis China
(PKC), para pemimpin China cenderung lebih memfokuskan diri untuk membangun
paham sosialis komunis di China dan mengkombinasikannya dengan model ekonomi
Uni Soviet. Kebijakan tersebut digunakan China untuk memulihkan perekonomiannya
paska perang yang menyebabkan kehancuran besar terhadap industri dan pertanian,
serta menyebabkan hiperinflasi di China pada masa itu. China tidak memandang
bahwa hubungan kerjasama ekonomi bilateral ataupun regional dengan negara atau
wilayah lain selain Uni Soviet sebagai hal yang dapat memacu pertumbuhan
ekonominya. Selama tahun 1950-an segala aspek dalam kehidupan masyarakat China
selalu dikaitkan dengan pengaruh besar Uni Soviet. Sistem perekonomian Uni
Soviet secara keseluruhan berjalan di China beriringan dengan teknologi
industri dan design organisasi yang berlaku di Uni Soviet.
Namun cara pandang tersebut mulai berubah setelah Deng
Xiaoping berhasil meraih puncak kepemimpinan PKC. Sejak tahun 1978 pemerintah China
mulai menjalankan program-program yang berkaitan dengan reformasi ekonomi.
Mulai dari pembubaran komune[1],
pemisahan negara dari kontrol partai, pembebasan para manajer perusahaan dari
kontrol partai, mendorong didirikannya perusahaan-perusahaan daerah dan
pengusaha swasta, liberalisasi dalam perdagangan internasional dan investasi,
mengurangi kontrol negara dalam kebijakan harga, dan melakukan investasi di
bidang-bidang industri.[2]
Dapat diamati bahwa selama Deng Xiaoping
berkuasa perubahan yang luar biasa lebih terlihat melalui program
reformasi ekonomi yang dijalankannya. Deng pun memilih untuk tidak membuat
perubahan terhadap pandangan politik China sebagai pertimbangan menciptakan
kestabilan politik yang merupakan salah satu syarat bagi pertumbuhan ekonomi.
Pada perkembangannya proses reformasi China tetap
berlanjut, bahkan China mengalami transformasi yang drastis setelah Jiang Zemin
diangkat sebagai pemimpin pada tahun 1990, dan perjalanan ke Selatan[3]
yang dilakukan oleh Deng Xiaoping dalam rangka percepatan reformasi ekonomi
China. Perubahan fundamental telah terjadi dalam perekonomian China yaitu reformasi perusahaan milik negara dan
penetapan China menganut sistem “ekonomi pasar sosialis”, dalam arti menjadikan
pasar sebagai faktor fundamental dalam alokasi sumber daya di bawah kontrol
makro oleh negara pada Kongres Partai Komunis China XIV bulan Oktober 1992.[4]
Slogan “gaige
kaifang”[5] yang
dicetuskan oleh Deng Xiaoping dalam perjalannya ke Selatan telah menjadi bekal
bagi China untuk pada akhirnya membuka hubungan diplomatik dengan negara Barat
dan melakukan perdagangan internasional. Dengan memadukan perdagangan bebas
dengan otoritarianisme[6],
pemerintah China bertujuan untuk menghasilkan alokasi
sumber daya yang baik dan tingkat pertumbuhan yang tinggi melalui kebijakan
ekonomi yang sehat, sementara tetap mempertahankan satu partai, dan membatasi
hak-hak individu.[7]
Selanjutnya China pun melangkah percaya diri memasuki arus globalisasi dengan
menjadi anggota organisasi-organisasi internasional, menjalin hubungan dagang
dengan negara-negara di seluruh dunia, menarik modal asing, dan yang terpenting
adalah bergabung dengan organisasi perdagangan dunia World Trade Organisation
(WTO).
Dalam sudut pandang China, menjadi anggota WTO adalah
cara efektif untuk meraih kepentingannya di dalam persaingan ekonomi-politik
internasional. Alasan utamanya tentu saja sebagai sarana untuk mempercepat
proses industrialisasi di China melalui perdagangan internasional dan
investasi, serta masuknya teknologi maju. Dengan menjadi anggota WTO pemerintah
China berharap akan memeroleh perlakuan Most
Favoured Nation (MFN)[8]
yang diperlukan untuk memacu ekspor China. Selain keuntungan di atas, masih
terdapat intangible gains yang juga
ingin diraih China dalam eksistensinya di WTO. Pemerintah China ingin memeroleh
prestise internasional dan memperkuat legitimasinya baik di dalam negeri
berkaitan dengan keberadaan kelompok konservatif yang kerap kali menentang
liberalisasi di China, maupun dalam kaitannya dengan isu Taiwan.[9]
Unsur penting dari strategi reformasi ekonomi yang
dicetuskan oleh Deng Xiaoping sesungguhnya adalah untuk menghapus ideologi yang
selama ini ditanamkan oleh Mao Zedong serta meraih keuntungan di dalam
perdagangan internasional. Hasilnya adalah reformasi dan keterbukaan telah
mendorong perluasan perdagangan dengan negara lain dan meningkatkan
perekonomian domestik China. Sejak reformasi dilaksanakan, nilai ekspor-impor
dan perdagangan internasional China telah meningkat tajam hingga sepuluh kali
lipat. Bahkan China telah berhasil menjadi negara dengan volume perdagangan
internasional terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang.
Selain itu China berhasil memperlihatkan peningkatan pertumbuhan mencapai lebih
dari 9,4% pertahun selama periode tahun 1978-2004, dimana China sebelumnya
mengalami kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi, dengan pencapaian
pertumbuhan rata-rata 6% pertahun. Selama kurun waktu lima belas tahun pasca
reformasi ekonomi, pendapatan perkapita China pun mengalami kenaikan hampir
empat kali lipat.[10]
Pada masa selanjutnya perekonomian China tidak terlalu
terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar terutama ketika terjadi krisis
finansial di Asia pada tahun 1997 karena lebih dari 80% pertumbuhan ekonomi
China di-support oleh konsumsi dan
investasi domestik.[11]
Tercatat pertumbuhan ekonomi China selama tahun 1979 hingga 1994 menghasilkan
keuntungan produksi sebesar 42%, dan pada tahun 1990-an keuntungan produksi
China yang meningkat drastis telah menjadi bagian dari sumber modal domestik
yang digunakannya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan
pandangan tradisional di dalam pembangunan China, dimana investasi kini telah
menjadi pemicu bagi pertumbuhan ekonomi negara.[12]
Berkaitan dengan penanaman modal asing, sejak tahun
1990-an China telah menjadi negara tujuan investasi terfavorit bila
dibandingkan dengan seluruh negara berkembang yang ada di dunia. China berhasil menarik Foreign Direct Investment (FDI) sebesar total US$580 Milyar pada
awal tahun 2005, dan untuk selanjutnya secara terus-menerus berhasil merebut
lebih dari 50% FDI yang mengalir ke Asia Timur.[13]
Seiring dengan usaha China dalam menarik FDI di bidang teknologi dari Amerika
Utara dan Uni Eropa, beberapa negara yang sebelumnya menjadi negara tujuan
investasi seperti Hongkong, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura mulai
mengalami penurunan dalam jumlah FDI yang masuk ke negaranya.
Tingginya minat Amerika Serikat dan negara-negara yang
tergabung dalam Organization for Economic
Co-operation and Development (OECD) untuk bekerjasama maupun menanamkan
investasi di China didasarkan atas penilaian mereka bahwa China sebagai negara
dengan peluang pasar yang sangat menjanjikan. Mereka dapat menikmati tingginya
permintaan barang-barang import oleh konsumen China dan murahnya harga
barang-barang ekspor dari China. Selain itu, para investor juga mengincar
kemungkinan memproduksi produk-produk yang low-cost
di dalam China yang dapat diekspor dan disalurkan ke pasar domestik China.
Sejak resmi menjadi anggota WTO pada akhir tahun 2001,
nilai perdagangan China meningkat tajam. Pada tahun 2005 total GDP China
mencapai 14 Trilyun Renminbi (US$1,6
Trilyun). Nilai ini setara dengan dua kali lipat jumlah GDP Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Berdasarkan jumlah total GDP yang dimilikinya, China termasuk dalam
kategori negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia. Dalam sepak
terjangnya di Asia Timur, China juga telah berhasil memprakarsai pembicaraan
dengan 27 negara dan wilayah untuk membuat kerjasama bilateral dan regional free trade area (FTAs).
Negosiasi kerjasama bilateral yang telah dilakukan China yaitu dengan Australia
dan New Zealand, sedangkan pembicaran terpenting mengenai kerjasama regional
telah terjadi antara China dengan Association
of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Bagi sebagian besar negara-negara di wilayah Asia
Tenggara, pertumbuhan ekonomi China merupakan bagian integral dalam politik,
ekonomi, dan stabilitas. China dinilai mampu menyediakan pilihan-pilihan lain
yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.[14]
Atas pertimbangan ini ASEAN yang ingin meragamkan mitra kerjasama ekonomi dan
mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS memilih China sebagai mitra baru
dalam kerjasama perdagangan internasional. Perekonomian China yang dinamis dan
potensial, diiringi juga dengan perasaan tidak puas terhadap kebijakan
perdagangan yang ditetapkan AS dan Jepang, semakin meningkatkan minat ASEAN
terhadap China. Selain itu kerjasama China-ASEAN juga dipandang sangat berguna
untuk menciptakan integrasi ekonomi di wilayah Asia Timur.
Namun pada pelaksanaanya terdapat kekhawatiran di dalam
ASEAN melihat sepak terjang kebijakan ekonomi China. Pembangunan ekonomi
China-ASEAN (tidak termasuk Singapura) yang pada awalnya diharapkan dapat
saling melengkapi satu sama lain berkembang menjadi hubungan yang bersifat
kompetitif.[15] Dengan
berbagai cara, pertumbuhan ekonomi China yang dinamis menciptakan kompetisi
yang tinggi bagi perekonomian ASEAN. Kompetisi yang tinggi antara China dan
ASEAN nampak dalam persaingan memperebutkan FDI dan juga persaingan dalam
ekspor manufaktur ke pasar negara-negara maju.
Untuk mengusir kekhawatiran ASEAN terhadap China yang
dianggap dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, China mulai
mengambil langkah mengintensifkan kerjasamanya dengan negara-negara ASEAN.
Dalam acara ASEAN-China Summit bulan November 2001, Perdana Menteri China Zu
Rongji mengajukan pembentukan Free trade
area antara China dan ASEAN dalam waktu 10 tahun.[16]
Kemudian pada pertemuan selanjutnya di Kamboja 4 November 2002, China dan
negara-negara ASEAN berhasil menandatangani naskah perjanjian pembentukan
wilayah perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang akan diberlakukan secara
resmi mulai 1 Januari 2010.
Pada awal pelaksanaan perjanjian ini ASEAN harus
berhadapan dengan resiko awal dari kemungkinan yang terjadi akibat diversi
perdagangan dan penyesuaian kebijakan. Secara umum, rencana FTA akan
menyebabkan kenaikan biaya distribusi dan menguntungkan industri yang berbeda,
sektor yang berbeda, bahkan negara ASEAN yang berbeda. Namun setelah melalui
proses awal penyesuaian, tiap negara dapat kemudian mengembangkan diri dalam
hubungan ekonomi mereka dengan China.
Perjanjian dengan ASEAN yang dimulai sejak tahun 2002,
kemudian dikukuhkan pada 29 November 2004 di Vientiane, Laos melalui
penandatangan Agreement on Trade in Goods
of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation (TIG).
Framework ini merupakan kerangka hukum
dalam perjanjian kerjasama ekonomi China – ASEAN secara keseluruhan yang
mengatur liberalisasi tarif di dalam ACFTA. Lebih lanjut liberalisasi tarif ini
secara spesifik diklasifikasikan menjadi Normal
Track dan Sensitif Track.
Dalam kaitannya dengan kebijakan tersebut, seluruh negara
ASEAN diwajibkan untuk menghapus tarif perdagangan pada seluruh komoditas yang
termasuk dalam kategori normal track
paling lambat tahun 2010 bagi Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Brunai
Darussalam, dan Filipina (ASEAN 6) dan paling lambat 2015 bagi Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam (CLMV),
sedangkan untuk batas waktu sensitif
track akan disepakati secara bilateral. Pengurangan tarif yang meliputi
lebih dari 7000 produk tersebut telah diberlakukan sejak 1 Juli 2005 dalam
sebuah skema bernama Early Harvest
Programme (EHP)[17].
Selain penandatangan TIG, China dan negara ASEAN juga telah menandatangani
perjanjian Trade in Servis dan Agreement on Investment, keseluruhan
kerjasama ini merupakan bagian dari serangkaian kerjasama ekonomi antara China
dan ASEAN.
Pada prinsipnya penghapusan hambatan perdagangan di dalam
ACFTA akan mendorong ekspansi perdagangan melalui terciptanya perdagangan (trade creation) dan pengalihan
perdagangan (trade diversion). Selama
negara ASEAN dan China dapat berdaptasi dengan baik di dalam persaingan
regional dan internasional, dengan biaya produksi yang rendah, dan efisiensi
yang cukup, maka diharapkan negara tersebut dapat menikmati biaya dalam trade diversion yang lebih rendah, atau
sama besar dengan keuntungan yang akan didapatkan negara tersebut ketika trade creation.[18] Namun pada beberapa kasus berkaitan dengan
kerjasama ACFTA, negara ASEAN akan menghadapi penyesuaian kebijakan yang lebih
besar lagi bila dibandingkan dengan China. Penghapusan hambatan perdagangan
yang diberlakukan dalam ACFTA akan mendorong pengurangan biaya produksi, memperluas
perdagangan intra-regional, dan meningkatkan efisiensi ekonomi seiring dengan
terbukanya wilayah perdagangan.
Terlepas dari hambatan non-tarif yang berlaku di China, terdapat
pula kekhawatiran yang berkaitan dengan ACFTA, area perdagangan bebas akan menciptakan
biaya signifikan pada Rules of Origin
dan implementasi serta pengawasan administratifnya. Hal tersebut dapat
menyebabkan kesulitan yang berbeda bagi tiap negara ASEAN, dan memungkinkan
keterlibatan China dalam mengatasi overlapping
yang terjadi. Track yang berbeda juga dapat menimbulkan kebingungan bagi para
investor yang ingin menanamkan modalnya di negara-negara ASEAN, dimana aturan,
obligasi, dan insentif menyesuaikan dengan mitra negaranya. Dalam hal ini,
negara-negara ASEAN dan China masih dalam proses negosiasi yang panjang dalam
implementasi liberalisasi perdagangan di bawah kerangka kerjasama ACFTA.
B. Konsep Negosiasi Dalam Pembentukan ACFTA
Judul tesis ini adalah “Strategi China untuk mencapai
kepentingan ekonomi politik ASEAN-China Free Trade Area”. Dalam pembahasan akan
dipaparkan bagaimana China berusaha mencapai tujuannya melalui langkah
diplomasi dalam proses negosiasi berkaitan dengan masalah dan isi perundingan
ACFTA. Strategi negosiasi yang digunakan oleh China secara umum merupakan
aplikasi dari konsep-konsep berikut ini.
Pertama konsep tawar-menawar
yang telah dikemukakan oleh William D. Coplin.
Tawar-menawar
merupakan bentuk interaksi resmi antarnegara yang bisa digolongkan sebagai
interaksi tawar-menawar kompetitif (competitive
bargaining). Tawar-menawar dimotivasi oleh tujuan-tujuannya serta dituntun
oleh pandangan mereka terhadap negara lain. Dalam proses ini, negara-negara
mencoba mempengaruhi negara lain untuk mendapatkan ”hasil” yang mereka anggap
penting. William D. Coplin memaparkan empat macam taktik dalam strategi
negosiasi, yaitu menggunakan instrumen berupa argumentasi, janji, ancaman,
tawaran kebaikan, dan koersi atau paksaan.[19]
Argumentasi digunakan untuk meyakinkan pihak lain dengan
menggunakan simbol-simbol untuk mempengaruhi atau mengubah keputusan; janji
sebagai alat atau taktik yang dampaknya dapat mengubah hasil negosiasi; ancaman
meliputi tindakan tidak menyenangkan di masa depan bagi aktor yang diancam.
Sesuai dengan janji, ancaman hanya efektif apabila dipercaya. Kredibilitas
sebuah ancaman atau janji menentukan keberhasilan dalam negosiasi; tawaran
kebaikan merupakan bentuk tindakan persahabatan yang bisa jadi tidak berkaitan
dengan komitmen sebelumnya, dan dimaksudkan untuk mempengaruhi pandangan pihak
lain agar sesuai dengan pandangan penawar; taktik terakhir adalah penggunaan
paksaan atau koersi.
Negosiasi dapat didefinisikan sebagai usaha yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkonflik untuk mendapatkan hasil yang dapat
diterima oleh semua pihak.[20]
Aktor-aktor yang terlibat dalam negosiasi secara sadar akan menjalankan suatu
strategi sebagai taktik yang dirancang untuk saling mempengaruhi. Berdasarkan
konsep strategi negosiasi yang dikemukakan oleh Watson Adam bahwa strategi
negosiasi dapat diidentifikasi menjadi kompetisi, akomodasi, kompromi, dan
kolaborasi.[21] Konsep
lain mengenai taktik dan strategi negosiasi juga dikemukakan oleh Thomas-Killman
dalam Conflict Mode Instrument.
Taktik dan strategi negosiasi dengan memanfaatkan gaya konflik ini didasarkan
atas dua faktor, pertama assertiveness
yaitu besarnya perhatian aktor untuk mencapai tujuan pribadinya. Kedua cooperativeness yaitu perhatian aktor
terhadap tujuan yang dimiliki oleh pihak lain.
Beberapa gaya konflik itu antara lain dengan menggunakan
gaya contending atau kompetisi. Dalam
gaya konflik ini, power menjadi orientasi utama aktor. Aktor akan berusaha
keras untuk mencapai tujuannya dan tidak terlalu peduli dengan pencapaian
tujuan oleh pihak lain. Kompetisi dapat ditujukan untuk mempertahankan kebenaran
atas hak dan posisi aktor dalam sebuah persaingan; gaya yielding atau akomodasi dilakukan ketika seorang aktor lebih
menaruh perhatian terhadap pencapaian tujuan pihak lain, dan tidak terlalu
peduli terhadap tujuan pribadi yang ingin dicapai.
Gaya avoiding
atau menghindar dilakukan apabila seorang aktor tidak memiliki kepentingan
untuk mencapai tujuan pribadi maupun tujuan pihak lain. Gaya menghindar juga
dilakukan untuk tujuan menunda permasalahan yang terjadi hingga waktu yang
lebih tepat, serta menyelamatkan diri dari ancaman yang dapat membahayakan
posisi aktor; gaya kolaborasi digunakan ketika para pihak menghadapi
permasalahan yang kompleks sehingga membutuhkan beberapa gagasan dan sumber
daya dari masing-masing pihak untuk menghasilkan solusi yang baik; yang
terakhir adalah gaya kompromi dilakukan ketika sebuah konsensus tidak dapat
dilakukan disebabkan oleh keseimbangan power dari pihak-pihak yang berkonflik,
serta masing-masing pihak membutuhkan solusi sementara untuk memecahkan masalah
yang lebih besar
Seiring perkembangan zaman, globalisasi juga memengaruhi
dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Setelah tahun 1990-an
globalisasi telah menstimulasi interaksi ekonomi di wilayah Asia Timur melalui
aktivitas perdagangan intra-regional.[22]
Para aktor bisnis di Asia Timur termasuk China mulai tertarik untuk
berpartisipasi dan mengambil keuntungan di dalam kerjasama regional sebagai
cara untuk meningkatkan spesialisasi ekonomi di dalam pasar yang lebih luas
sehingga dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Regionalisme yang
keberadaannya telah ada sejak akhir perang dingin telah menumbuhkan fenomena
kritis yang memengaruhi politik internasional. Hampir seluruh negara di dunia
memperlihatkan ketertarikannya terhadap regionalisme yang telah menghasilkan
regional grup, integrasi, dan program-program kerjasama. Melalui implementasi
program kerjasama, para aktor politik dan private aktor dapat meraih keuntungan
kolektif di dalam perkembangan lingkungan regional
dan internasional, dimana keuntungan ini tidak dapat mereka peroleh
secara efisien di dalam level nasional.[23]
Kerjasama ACFTA yang notabene merupakan produk
regionalisme dimanfaatkan China sebagai alat untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi melalui perdagangan internasional. Nilai ACFTA sendiri terletak
pada kenyataan bahwa ini adalah pertama
kalinya dalam sejarah China mencapai kesepakatan bersama untuk membuat
kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN.
Melalui kerjasama ACFTA, China dan ASEAN mulai mempertimbangkan untuk
mengakomodir kepentingan-kepentingan internasional masing-masing khususnya
secara ekonomi dalam kerangka regional melalui pembentukan area perdagangan
bebas (FTA). Perdagangan bebas mengacu pada konsep perdagangan internasional
barang dan jasa tanpa pengenaan tarif atau bea cukai dan batasan-batasan
perdagangan seperti kuota dalam impor.[24]
Dengan penghapusan tarif tersebut harga barang dan jasa para anggota menjadi
lebih kompetitif bila dibandingkan dengan negara non-anggota, sehingga
kemampuan untuk berkompetisi anggota pun menjadi lebih kuat bila dibandingkan
dengan negara non-anggota.
Sejak kehadiran China selama sepuluh tahun ini, negara
tersebut telah berhasil membangun perekonomiannya dengan menggunakan model
pembangunan yang berbeda dengan kebanyakan negara-negara berkembang di Asia.
Pada kenyataannya China telah mengadopsi sistem ekonomi semi-market dengan mempertahankan sistem politik non-liberal.
Keberhasilan China tersebut tidak disangsikan telah menarik perhatian
negara-negara berkembang, terutama mereka yang berada di kawasan Asia Tenggara.
Dalam hubungan internasional, konsep diplomasi digunakan
untuk menjelaskan bentuk dan cara yang
ditempuh oleh suatu negara dalam berhubungan. Terdapat banyak pengertian
mengenai diplomasi yang erat kaitannya dengan pencapaian tujuan nasional; di
antaranya yaitu sebagaimana yang dikemukakan oleh Louise Diamond dalam Multi-Track Diplomacy bahwa diplomasi
adalah sesuatu yang digunakan di dalam hubungan interaktif antaraktor yang
ditujukan untuk menjalin hubungan, komunikasi, dan keterikatan.[25]
Selain itu definisi menurut The Oxford English Dictionary yang memberi konotasi
diplomasi sebagai manajemen hubungan internasional melalui negosiasi yang
diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil (bisnis atau seni para
diplomat).
Menurut Kautilya, terdapat empat prinsip utama instrumen
diplomasi yaitu sama / perdamaian atau negosiasi, dana / pemberian hadiah atau
konsesi, danda / menciptakan perselisihan, dan bedha / penggunaan kekuatan
(militer). Pada praktiknya prinsip-prinsip ini dapat digunakan secara terpisah
sesuai keadaan, ataupun digunakan secara kombinasi. Pernyataan hampir serupa
juga dikemukakan oleh H.J. Morgenthou bahwa proses diplomasi terdiri atas:
persuasi, kompromi, dan ancaman.
Tujuan dari diplomasi yang baik dan efektif menurut
Kautilya secara luas meliputi empat bidang (politik, ekonomi, budaya, dan
ideologi) untuk menjamin keuntungan maksimum negara sendiri.[26]
Tujuan utamanya adalah pemeliharaan keamanan, sedangkan tujuan vitalnya antara
lain memajukan ekonomi, perdagangan, an kepentingan komersial; perlindungan
warga negara sendiri di negara lain, mengembangkan budaya dan ideologi,
meningkatkan prestise nasional, memperoleh persahabatan dengan negara lain,
dsb. Tujuan utama sebuah diplomasi menurut S.L. Roy adalah pengamanan kebebasan
politik dan integritas teritorialnya.[27]
Hal tersebut hanya bisa dicapai dengan cara memperkuat hubungan dengan negara
sahabat, memelihara hubungan erat dengan negara-negara yang sehaluan, dan
menetralisir negara-negara yang memusuhi. Persahabatan bisa dibina dan
sahabat-sahabat baru bisa diperoleh, semuanya bisa didapat melalui negosiasi
yang bermanfaat.
Selama ini China menjalankan diplomasi total[28] untuk memperkuat pasar internasional sehingga memiliki
daya tawar yang lebih tinggi dibanding dengan negara lain. Diplomasi ini selain
melibatkan pemerintah juga melibatkan dunia usaha. Para duta besar China tidak
hanya memiliki bekal mengenai masalah perdagangan, tetapi juga bekal ilmu
marketing. Diplomasi total yang dilakukan oleh China ditujukan tidak hanya
untuk menjalin kedekatan politis, tetapi juga diplomasi peningkatan investasi,
perdagangan, kesempatan kerja, dan pariwisata. Diplomasi ini dimainkan pada
tataran bilateral, regional, dan multilateral global.
Seiring perkembangan zaman, globalisasi juga memengaruhi
dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Setelah tahun 1990-an
globalisasi telah menstimulasi interaksi ekonomi di wilayah Asia Timur melalui
aktivitas perdagangan intra-regional.[29]
Para aktor bisnis di Asia Timur termasuk China mulai tertarik untuk
berpartisipasi dan mengambil keuntungan di dalam kerjasama regional sebagai
cara untuk meningkatkan spesialisasi ekonomi di dalam pasar yang lebih luas
sehingga dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Regionalisme yang
keberadaannya telah ada sejak akhir perang dingin telah menumbuhkan fenomena
kritis yang memengaruhi politik internasional. Hampir seluruh negara di dunia
memperlihatkan ketertarikannya terhadap regionalisme yang telah menghasilkan
regional grup, integrasi, dan program-program kerjasama. Melalui implementasi
program kerjasama, para aktor politik dan private aktor dapat meraih keuntungan
kolektif di dalam perkembangan lingkungan regional
dan internasional, dimana keuntungan ini tidak dapat mereka peroleh
secara efisien di dalam level nasional.[30]
Kerjasama ACFTA yang notabene merupakan produk
regionalisme dimanfaatkan China sebagai alat untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi melalui perdagangan internasional. Nilai ACFTA sendiri terletak
pada kenyataan bahwa ini adalah pertama
kalinya dalam sejarah China mencapai kesepakatan bersama untuk membuat
kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN.
Melalui kerjasama ACFTA, China dan ASEAN mulai mempertimbangkan untuk
mengakomodir kepentingan-kepentingan internasional masing-masing khususnya
secara ekonomi dalam kerangka regional melalui pembentukan area perdagangan
bebas (FTA). Perdagangan bebas mengacu pada konsep perdagangan internasional
barang dan jasa tanpa pengenaan tarif atau bea cukai dan batasan-batasan
perdagangan seperti kuota dalam impor.[31]
Dengan penghapusan tarif tersebut harga barang dan jasa para anggota menjadi
lebih kompetitif bila dibandingkan dengan negara non-anggota, sehingga
kemampuan untuk berkompetisi anggota pun menjadi lebih kuat bila dibandingkan
dengan negara non-anggota.
Pembahasan dalam tesis ini akan menjawab secara
terperinci mengenai hal-hal yang memotivasi China dalam pembuatan kerjasama
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), serta starategi yang dilakukan China dalam
ACFTA. Analisis akan dilakukan dalam konteks menjawab pertanyaan berikut:
1.
Bagaimana
strategi China dalam mewujudkan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) terhadap
negara negara ASEAN?
C. Proses Kerjasama ASEAN China Free
Trade Area (ACFTA)
ASEAN
adalah merupakan organisasi kawasan, yang terdiri dari Negara-negara dikawasan
Asia Tenggara dan dideklarasikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok . Pada awal
pendeklarasianya, ASEAN berangotakan lima Negara
yakni: Filipina , Indonesia ,
Malaysia , Singapura dan Thailand .
Kini setelah memasuki abad ke-36, keanggotaan ASEAN dapat dikatakan hamper
lengkap, ini dikarenakan 10 negara yang beraa di kawasan Asia Tenggara telah
bergabung dalam organisasi tersebut.
Tujuan
pendirian ASEAN pada waktu itu meliputi 6 hal: satu, mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan social, dan pengembangan kebudayaan. Dua, meningkatkan
perdamaian dan stabilitas regional. Tiga, meningkatkan kerjasama aktif dan
salaing membantu. Empat, saling membantu dalam sarana latihan serta penelitian
dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Lima, kerjasama
lebih aktif dalam peningkatan pembangunan pertanian, industri, perluasan
perdagangan, serta perbaikan sarana transportasi dan komunikasi. Enam,
memelihara dan meningkatkan kerjasama dengan badan atau lembaga regional maupun
internasional[32].
Pada pelaksanaan KTT bisnis dan
investasi ASEAN tanggal 6-8 Oktober 2003 di Bali, semua kesepakatan kerjasama
dalam pendeklarasian ASEAN, ditegaskan kembali dalam esensi perjanjian kerjasama
yang tertuang dalam Bali Concord II. Hal ini terutama ditekankan dalam
kerjasama ekonomi Negara-negara ASEAN. Ini dikarenakan, kerjasama ekonomi
adalah aspek yang sangat penting, dan tidak dapat ditingalkan dalam hubungan
antar negera. Selain itu, kerjasama merupakan hal yang sangat krusial dalam
memanfaatkan dan menghadapi berbagai peluang dan tantangan, serta persaingan
yang semakin ketat di alam globalisasi. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang
sunguh-sunguh dari Negara-negara ASEAN dalam membangun kerjasama yang saling
menguntungkan.
Negara-negara ASEAN pada umumnya
adalah Negara yang perekonomianya kecil sampai sedang. Perekonomian ASEAN
bersifat memandang keluar (outward Looking)[33]. Yakni dalam
menjalankan kebijakanya, pemerintah Negara-negara ASEAN berpedoman kepada
Negara yang telah mencapai kesuksesan dalam membangun perekonomianya, termasuk
Negara-negara yang berada di kawasan Asia. Negara-negara memperoleh sebagian
besar pendapatan nasionalnya dari aktifitas eksternal, melalui ekspor barang dan
jasa. Investasi asing juga memainkan peranan yang menentukan dalam pertumbuhan
perekonomian ASEAN, yakni dengan menyediakan bukan saja modal, tetapi juga
teknologi dan akses ke pasar ekspor luar negeri.
Dalam satu decade terakhir,
perekonomian Negara-negara ASEAN sebagaimana halnya Negara-negara di kawasan
Asia lainya, mengalami perubahan baik itu pertumbuhan yang pesat, maupun
penurunan tingkat perekonomian secara darastis. Sebelum terjadinya krisis
financial pada tahun 1997-1998, perekonomian Negara-negara ASEAN berkembang
sangat pesat, bahkan para pemimpin ASEAN telah memperkirakan perkembangan
ekonomi di kawasan yang sepektakuler, dan abad mendatang akan menjadi abad
ASEAN[34]. Namun krisis
yang melanda Negara-negara di Asia dan tidak ketingalan juga ikut melanda
Negara-negara ASEAN, telah memutar balikan keadaan perekonomian Negara-negara
ASEAN yang mengalami kemunduran secara drastic.
Krisis financial yang terjadi tidak
saja berakibat pada penurunan ekspor dan impor tetapi juga pada tingkat
investasi asing. Bahkan setelah beberapa tahun kemudian ASEAN masih mengalami
kesulitan dalam membangun kembali perekonomianya. Hal ini terlihat bahwa,
jangankan untuk memacu perekonomian ke tingkat dari yang lebih tinggi dari
waktu sebelum terjadinya krisis, bahkan untuk mencapai nilai yang sama saja
Negara-negara ASEAN masih belum mampu, baik itu dari segi ekspor maupun impor.
Hingga saat ini ketertarikan
investasi asing menanamkan kembali modalnya di Negara-negara ASEAN juga masih
sangat rendah, walaupun terjadi peningkatan tetapi nilainya masih sangat kecil.
Padahal menurut World Invesent Report 2002, pertumbuhan ekspor impor sangat
dipengaruhi oleh kehadiran investasi global, yang selanjutnya akan meningkatkan
ekspor dan impor di kawasan[35]. Sekertariat
ASEAN mencatat volume perdagangan (ekspor dan impor) ASEAN tahun 2001 sebesar
US$ 712,1 miliar dan mengalami penurunan sebanyak 9,4% dibandingkan tahun 2000
yang mencapai nilai sebesar US$ 784,4 miliar[36].
Pertumbuhan
industri dan penataan kembali perekonomian Negara, melalui peningkatan
kerjasama ekonomi antar bangsa, adalah aspek yang perlu mendapatkan perhatian
dalam pengembangan global. Ini dikarenakan hal tersebut dapat merangsang
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu perkembangan positif dalam
hubungan ekonomi antara China dengan Negara-negara ASEAN, dapat membuka
perubahan baru dan sekaligus peluang dalam meningkatkan pertumbuhan industri
dan perkembangan ekonomi yang saling menguntungkan. Kerjasama dalam membangun
factor-faktor domestic, yang dianggap vital bagi perkembangan perekonomian
kedua Negara, juga akan sangat penting sebagai sarana pemenuhan kebutuhan kedua
belah pihak. Dengan ACFTA diharapkan kedua belah pihak akan dapat mencapai
kemajuan ekonomi dan social bersama.
Pada dasarnya China dan ASEAN adalah sama-sama Negara
berkembang, yang menghadapi berbagai permasalahan seperti kebutuhan akan modal
asing, kepentingan perluasan dalam pasar ekspor, dan cenderung terbelakang
dalam teknologi. Dengan adanya permasalah tersebut, dapat dapat diperkirakan
bahwa kedua belah pihak akan saling bersaing, baik baik itu dalam hal menarik
investasi asing, maupun dalam mencari pasar bagi hasil produksinya
Namun
diatas itu semua, penegakan kerjasama ekonomi China-ASEAN ditunjukan untuk
kebutuhan yang saling melangkapi, bukan sebagai persaingan. Kedua belah pihak
harus dapat bekerjasama untuk meraih keuntungan bersama pula. Bagaimanapun juga
permasalahan perdagangan dan investasi bukanlah sebuah ero-sum games (perkara
menang atau kalah). China sendiri telah menjanjikan bahwa dengan masuknya China
ke dalam organisasi WTO, akan merepresentasikan kesempatan berinvestasi kepada
seluruh Negara Asia. Sebagai anggota WTO China juga akan bersikap transparan
dalam melakukan kerjasama ekonomi dengan Negara lain
Mengenai
struktur dalam perdagangan agar tidak menimbulkan persaingan, kedua belah pihak
sepakat untuk bertolak kepada keuntungan komparatif. Selain itu juga dibentuk
spesialisasi dari apa yang akan diproduksi guna meningkatkan kompetisi,
misalnya dalam produk manufaktur, agribisnis, pelayanan jasa dan sebagainya.
Sebagai contoh: ASEAN akan menerima keuntungan dari peningkatan ekspor kasil
pertanian ke China, sementara China mengekspor hasil industrinya ke
Negara-egara ASEAN.
Dengan
ketetapan Free Trade Area maka diupayakan keuntungan ekonomi untuk semua Negara
anggota. Menurut teori FTA berarti meningkatkan perdagangan intra regional,
meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Pada kerjasama ACFTA, kombinasi pasar
akan memungkinkan eksploitasi skala ekonomi oleh adanya perluasan pasar.
Sebagai contoh: perusahaan yang sebelum adanya intergrasi memperoduksi dibawah
kapasitas optimum, maka setelah adanya integrasi akan meraih keuntungan
efisiensi dari biaya unit yang rendah, ini dimungkinkan karena mereka memproduksi
lebih banyak untuk sebuah pasar yang sangat besar[37].
Dengan
adanya integrsi pasar melalui FTA diharapkan akan menjadai daya tarik
tersendiri bagi investasi asing untuk menanamkan modalnya, sehingga investasi
internasional tidak hanya terfokus pada satu Negara saja. Selain itu dengan FTA
juga memungkinkan perluasan lapangan kerja, yang kesemua itu akan ikut
mempengaruhi pertumbuhan kesejahteraan ekonomi Negara-negara anggotanya
Pada
akhirnya, kesuksesan dari penegakan ACFTA akan sangat ditentukan dari
keseimbangan perdagangan antara kedua belah pihak. Untuk itu dukungan dari
China akan sangat besar artinya, karena perkembangan dan kemajuan yang selama
ini telah berhasil diraih oleh orang China secara tidak langsung telah
memberika peluang bagi Negara-negara ASEAN melalui ikatan kerjasama ACFTA. Dan
sifat perekonomian yang saling melengkapi antara China-ASEAN, adalah esensi
dari kerjasama tersebut.
1.
Strategi Kompromi dalam Negosiasi Early Harvest Programme
Early Harvest Programme (EHP) adalah program yang dibuat oleh China dan ASEAN
untuk mengimplementasikan pengurangan dan penghapusan tarif lebih awal dari
jadwal yang disepakati secara umum bagi produk pertanian tertentu. Hal ini
disepakati dengan tujuan agar China dan ASEAN dapat menikmati keuntungan lebih
awal dari adanya ACFTA. Selain itu EHP berisi ketentuan mengenai tarif
liberalisasi dalam sektor kepentingan yang diprioritaskan dan
mengimplementasikan aturan fasilitasi
perdagangan dan investasi lainnya yang diinginkan untuk mempercepat keuntungan
bagi para pebisnis China dan ASEAN. Langkah-langkah ini meliputi:[38]
1.
Pengembangan
dan bantuan teknis untuk membangun kapasitas negara-negara, khususnya negara
anggota ASEAN yang baru demi meningkatkan daya saing produk mereka;
2.
Aturan-aturan
fasilitasi investasi dan perdagangan;
3.
Dialog
kebijakan perdagangan;
4.
Dialog
sektor bisnis;
5.
Fasilitasi
pengaturan visa bagi para pebisnis;
6.
Penilaian
penyesuaian dan standard;
7.
Aturan-aturan
yang menambah kesempatan akses pasar untuk produk dan jasa yang spesifik bagi China
dan ASEAN, seperti pertanian, produk tekstil dan pakaian, produk elektronik dan
mesin, alas kaki, oil and fats, bahan
pangan, kehutanan dan perairan, dan energi;
8.
Perluasan
perlakuan MFN sebagai komitmen China kepada negara anggota ASEAN yang bukan
anggota WTO, akan disesuaikan dengan WTO;
China
menunjuk dua negara ASEAN yaitu Singapura dan Brunei Darussalam sebagai Pihak
untuk setiap persetujuan yang telah disetujui atau yang akan disetujui antara
China dan Pihak Lainnya sesuai dengan pernyataan yang tertulis dalam Pasal 6
(3)(a)(iii) framework agreement ACFTA. Dalam program ini dimasukkan sekitar 562
jenis barang dalam level 8/9 dalam Harmonized System (HS) of Tariffs. Uraian
lebih jelas terdapat dalam tabel di bawah ini:[39]
Tabel 4.1 Harmonized System (HS)
of Tariffs
Chapter
|
Description
|
01
02
03
04
05
06
07
08
|
Live Animals
Meat and Edible
Meat Offal
Fish
Dairy Produce
Other Animal
Products
Live Trees
Edible
Vegetables
Edible Fruits
and Nuts
|
Pengurangan tarif yang
didasarkan atas MFN ini harus dimulai paling lambat Januari 2004, dan berada
pada nol persen pada bulan Januari 2006 untuk ASEAN6 dan tahun 2010 untuk
negara CLMV. Kategori produk untuk pengurangan dan penghapusan tarif
berdasarkan Pasal 6 (3)(b)(i) didefinisikan dalam tabel modalitas dan jadwal
pengurangan tarif di bawah ini:[40]
Tabel 4.2 Pengurangan Tarif MFN China dan ASEAN6
PRODUCT CATEGORY
|
Not Later than 01 Jan. 2004
|
Not Later than 01 Jan. 2005
|
Not Later than 01 Jan. 2006
|
With applied MFN tariff rates higher
than 15%
|
10%
|
5%
|
0%
|
With applied MFN tariff rates between
5% and 15% (inclusive)
|
5%
|
0%
|
0%
|
With applied MFN tariff rates lower
than 5%
|
0%
|
0%
|
0%
|
Khusus bagi negara-negara ASEAN 6, produk-produk
dengan tarif MFN lebih dari 15% harus sudah menjadi 10% pada 1 Januari 2004,
dan harus sudah dihapuskan pada 1 Januari 2006. Untuk produk-produk dengan
tarif MFN sebesar antara 5% - 15% harus sudah mengalami penurunan menjadi 5%
mulai 1 Januari 2004, dan harus sudah dihapuskan pada 1 Januari 2006. Kemudian produk-produk dengan tarif MFN di bawah 5% harus
sudah dihapuskan pada tahun 1 Januari 2004.
Tabel. 4.3
Pengurangan Tarif CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam)
Kategori Produk 1 (penerapan tingkat tariff MFN 30% atau
> 30%)
Negara
|
Jan’04
|
Jan’05
|
Jan’06
|
Jan’07
|
Jan’08
|
Jan’09
|
Jan’10
|
Vietnam
|
20%
|
15%
|
10%
|
5%
|
0%
|
0%
|
0%
|
Laos
Myanmar
|
-
|
-
|
20%
|
14%
|
8%
|
0%
|
0%
|
Kamboja
|
-
|
-
|
20%
|
15%
|
10%
|
5%
|
0%
|
Ketentuan pengurangan dan
penghapusan tarif bagi negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam)
dikelompokkan menjadi tiga kategori produk, pertama yaitu produk-produk dengan tarif
MFN minimal 30% harus mengalami penurunan menjadi 20% pada 1 Januari 2004 bagi
Vietnam, sedangkan pemberlakuan tarif MFN sebesar 20% berlaku bagi Kamboja,
Laos, dan Myanmar mulai 1 Januari 2006. Penghapusan tarif MFN harus telah
diberlakukan oleh CLMV pada 1 Januari 2010.
Tabel. 4.4
Pengurangan Tarif CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam)
Kategori Produk 2 (penerapan tingkat tariff MFN antara
15% dan 30%
Negara
|
Jan’04
|
Jan’05
|
Jan’06
|
Jan’07
|
Jan’08
|
Jan’09
|
Jan’10
|
Vietnam
|
10%
|
10%
|
5%
|
5%
|
0%
|
0%
|
0%
|
Laos
Myanmar
|
-
|
-
|
10%
|
10%
|
5%
|
0%
|
0%
|
Kamboja
|
-
|
-
|
10%
|
10%
|
5%
|
5%
|
0%
|
Kategori produk kedua yaitu
prodk-produk dengan tarif MFN antara 15%-30%. Pengurangan tarif
menjadi 10% mulai diberlakukan bagi Vietnam mulai 1 Januari 2004, sedangkan
bagi Kamboja, Laos, dan Myanmar berlaku mulai 1 Januari 2006. Keseluruhan tarif
produk harus sudah dihapuskan pada 1
Januari 2010.
Tabel. 4.5
Penerapan Tarif CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam)
Kategori Produk 3 (penerapan tingkat tariff MFN < 15%)
Negara
|
Jan’04
|
Jan’05
|
Jan’06
|
Jan’07
|
Jan’08
|
Jan’09
|
Jan’10
|
Vietnam
|
5%
|
5%
|
0%
|
0-5%
|
0%
|
0%
|
0%
|
Laos
Myanmar
|
-
|
-
|
5%
|
5%
|
0-5%
|
0%
|
0%
|
Kamboja
|
-
|
-
|
5%
|
5%
|
0-5%
|
0-5%
|
0%
|
Terakhir adalah kategori
produk dengan tarif MFN sebesar kurang dari 15%. Pengurangan tarif menjadi 5%
harus sudah diberlakukan pada 1 Januari 2004 bagi Vietnam, sedangkan bagi
Kamboja, Laos, dan Myanmar berlaku mulai 1 Januari 2006. Penghapusan tarif
menjadi 0% bagi seluruh negara CLMV harus sudah diberlakukan pada 1 Januari
2010.
Di dalam Early Harvest Programme juga terdapat
aturan mengenai Exclusion List yang
dapat digunakan oleh negara yang ingin mengeluarkan produk-produk tertentu dari
daftar EHP dan Request List bagi pihak yang ingin memasukkan produk tertentu
yang tidak tercantum dalam EHP. Akan tetapi, kedua aturan ini dapat berlaku
jika disetujui oleh China dan negara anggota ASEAN yang berkepentingan.
Sebagaimana diketahui bahwa EHP ini hampir seluruhnya satu arah dengan China
sebagai pembuat konsesi.
Melalui EHP China ingin
menciptakan pemikiran bahwa EHP merupakan perdagangan komplementer antara
produk-produk yang diekspor oleh ASEAN dengan produk-produk yang diekspor
China. Beras dan jagung yang menjadi produk sensitif bagi kedua pihak tidak
akan dimasukkan dalam EHP, sedangkan bagi produk-produk sensitif bagi sebagian
besar negara ASEAN dapat dikeluarkan dari EHP dengan menggunakan aturan
tambahan seperti Exclusion List dan Sensitif Track. Bagi China EHP dapat
memberikan kemudahan untuk mendapatkan bahan baku yang lebih murah dan cepat
untuk keberlanjutan pertumbuhan ekonominya.
Setiap negara memiliki
kebutuhan untuk meraih tujuan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
melakukan hubungan kerjasama dengan negara atau kawasan lain. Namun satu hal
yang harus diperhatikan adalah negara dalam menjalin kerjasama dengan negara
lain akan selalu mempertimbangkan keuntungan maksimal yang dapat diraihnya,
demikian pula di dalam kerjasama perdagangan bebas China-ASEAN yang
ditandatangani pada tahun 2002. Dalam sudut pandang negara-negara ASEAN memperluas
perdagangan dengan negara non-ASEAN sangat dibutuhkan, hal ini disebabkan oleh
rendahnya persentase perdagangan intra-ASEAN. Homogenitas produk telah
mendorong tingginya tingkat kompetisi antar anggota ASEAN dibandingkan dengan
tingkat komplementaritas.
D.
Penerpan Strategi Yang Dilancarkan China Terhadap ASEAN
Dalam negosiasi ACFTA,
pendekatan ekstra dilakukan China kepada negara ASEAN-CLMV yang masih mengalami
kesulitan untuk bersaing dengan negara ASEAN6. Kepada Vietnam, China yang
merupakan donatur terbesar kedua telah memberikan hibah dan pinjaman senilai
US$200 Juta pada tahun 2005, sedangkan pada tahun 2006 Beijing memberikan
pinjaman untuk proyek pembangunan rel kereta api, PLTA. Akan tetapi pada akhir
tahun 2006, Beijing menghentikan pinjaman kepada Vietnam sebagai tanggapan atas
undangan resmi Vietnam kepada Taiwan yang merupakan investor terbesar negara
tersebut untuk hadir dalam acara APEC yang diselenggarakan di Hanoi pada bulan
November 2006. Kepada Laos, Presiden
Hu Jintao dalam kunjungannya ke Vientiane pada tahun 2006 menawarkan dana
sebesar US$45 Juta untuk peningkatan ekonomi, kerjasama teknik, serta
pembebasan hutang.
Pada tahun yang sama
Perdana Menteri China Wen Jiabao berjanji untuk memberi bantuan dan pinjaman
senilai US$600 Juta kepada Myanmar. Dukungan militer China kepada pemerintah
Junta sejak tahun 1988, lalu investasi dalam eksplorasi mineral, produksi PLTA,
minyak, dan gas, serta proyek-proyek pertanian merupakan pendekatan yang sangat
berperan terhadap kelancaran negosiasi ACFTA. China juga telah membantu Myanmar
untuk membangun jalan raya, bandara, dan rel kereta api. Berkaitan dengan
sanksi perdagangan yang diberikan Amerika Serikat kepada Myanmar pada tahun
2003, China dikabarkan telah memberi pinjaman sebesar US$200 Juta.[41]
Berdasarkan uraian di atas,
dapat dilihat bahwa pada tahap kedua negosiasi ACFTA ini, China mengalami
hambatan dalam proses pemberlakuan EHP. Ketidakseragaman keadaan ekonomi dan
kepentingan nasional yang dimiliki oleh masing-masing anggota pada akhirnya
mendorong China untuk menggunakan strategi kompromi secara bilateral dengan
masing-masing anggota serta diiringi dengan berbagai macam pemberian dukungan
finansial maupun militer kepada negara-negara ASEAN. China meyakinkan bahwa
masing-masing anggota dapat menikmati keuntungan lebih awal dari adanya
penghapusan tarif perdagangan pada produk-produk pertanian yang tercantum dalam
EHP.
Agreement on
Trade in Good of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
(TIG) antara China dengan ASEAN yang ditandatangani pada 29 November 2004 telah
berlaku secara resmi sejak 1 Januari 2005. Dalam lingkup kesepakatan TIG yang
membahas mekanisme pengurangan dan penghapusan tariff, telah ditetapkan bahwa
sebagian besar tarif bea masuk akan dihapuskan pada tahun 2010. Hal ini berlaku
bagi China dan enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Brunei
Darussalam, Singapura, Filipina), sedangkan bagi Kamboja, Laos, Myanmar, dan
Vietnam (CLMV), pengurangan dan penghapusan tarif bea masuk akan berlaku mulai tahun 2015.
Kesepakatan tersebut juga mengatur liberalisasi produk-produk sensitif dari
seluruh aktor dan penghapusan hambatan non-tariff.
Penandatangan
TIG merupakan moment penting dalam proses negosiasi ACFTA. Ini dapat dikatakan
sebagai bukti keberhasilan strategi kompromi dalam negosiasi ACFTA yang selama
ini digunakan oleh China. China percaya bahwa strategi ini adalah satu-satunya
cara untuk bisa mencapai konsensus dalam kerjasama ekonomi komprehensive
China-ASEAN. Selain itu untuk menghapus persepsi awal yang berkembang di
lingkungan internasional yang menganggap China sebagai “ancaman” bagi
perekonomian negara-negara ASEAN, regional, maupun global. Strategi kompromi
yang mengedepankan perdamaian dinilai China sangat penting sebagai syarat untuk
menciptakan kestabilan keamanan di kawasan yang sangat berpengaruh bagi proses
pembangunan ekonomi ASEAN.
Berkaitan
dengan kesepakatan ACFTA, tiap negara ASEAN memiliki kesempatan yang sama dalam
hal memanfaatkan akses pasar China. Akan tetapi, di antara mereka terdapat
dilema yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan ekonomi dan kepentingan nasional
masing-masing. Pada saat China telah berhasil mengajak negara ASEAN untuk
menandatangani kesepakatan kerjasama, China dihadapkan oleh berbagai perbedaan
kepentingan nasional negara ASEAN yang harus diakomodir. Oleh karena itu China
mengalami kesulitan untuk meraih kesepakatan secara keseluruhan di dalam tubuh
ASEAN. Sebagai tanggapan China terhadap permasalahan ini, maka dibuatlah
aturan-aturan mengenai jadwal penghapusan dan pengurangan tarif, dimana
terdapat perbedaan antara negara ASEAN6 dengan negara CLMV. Kemudian terdapat
pengklasifikasian produk menjadi dua, yaitu produk-produk yang termasuk
kategori normal dan produk-produk sensitif masing-masing negara, dan dengan
masa pemberlakuan yang berbeda pula.
Perdana Menteri
China Wen Jiabao pada pertemuan ASEAN-China Summit ke-10 tahun 2004 di
Viantiane, Laos berbicara tentang berbagai hal yang bertujuan untuk mempererat
hubungan China-ASEAN dan memajukan kerjasama di berbagai bidang. Wen menekankan
beberapa hal dalam hubungan China-ASEAN, yaitu kedua pihak harus mengoptimalkan
dialog dan kerjasama dalam rangka menghadapi isu-isu regional dan
internasional. Kemudian menghimbau seluruh negara ASEAN untuk bersama-sama mengimplementasikan
TIG, Agreement on Dispute Settlement Mechanism, dan mempercepat negosiasi
mengenai aturan dalam perdagangan jasa dan investasi. Poin terpenting dalam
pernyataan Wen adalah mengajak negara-negara ASEAN untuk fokus memajukan
kerjasama di dalam bidang energi dan transportasi sesuai dengan komitmen di
dalam kesepakatan kerjasama Greater Mekong Subregion Economic Cooperation.
Berkaitan
dengan kebutuhan mendesak China terhadap sumber bahan mentah, energi, dan
transportasi, China berkomitmen pada proyek-proyek yang berkaitan dengan
peningkatan kapasitas negara-negara ASEAN. Dalam banyak laporan pemerintah,
terlihat bahwa China memberi perhatian lebih kepada Myanmar, Kamboja, dan Laos.
Negara-negara ini termasuk negara termiskin di Asia Tenggara dengan orang-orang
yang tidak memiliki hubungan yang baik dengan Amerika Serikat. Bagi
negara-negara ini, China dianggap sebagai pelindung "ekonomi utama".
China memberikan bantuan yang cukup besar ke Vietnam, walaupun pengaruhnya
sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurut data bantuan
pembangunan yang resmi, tidak termasuk China, Jepang adalah negara terbesar
dalam memberikan bantuan donor bilateral antara negara-negara tersebut.
Sebelum ACFTA
diberlakukan secara resmi pada Januari 2010, dua kesepakatan penting yang
merupakan bagian dari lingkup kerjasama ekonomi komprehensif China-ASEAN juga
telah berhasil ditandatangani. Kesepakatan yang pertama yaitu Agreement on
Trade in Service (TIS) yang berhasil ditandatangani oleh seluruh anggota pada
bulan Januari 2007. Dalam kesepakatan ini setiap anggota berkomitmen untuk
membuka pasar jasa mereka lebih luas lagi bagi negara-negara anggota, melebihi
ketentuan yang berlaku dalam kesepakatan WTO. Dengan adanya kesepakatan ini,
maka para supplier dan provider jasa negara anggota akan menikmati peningkatan
dalam akses pasar dan national treatment di dalam sektor-sektor yang telah
disepakati semua pihak.
Dalam
kesepakatan ini diatur mengenai penghapusan diskriminasi serta pelarangan
terhadap aturan diskriminasi, kecuali untuk aturan yang tercantum dalam Pasal
V(1)(b) WTO General Agreement on Trade in Service. Peningkatan perdagangan jasa
diharapkan dapat memperluas dan mengembangkan hal-hal yang terkait dengan
perdagangan jasa yaitu perpindahan sumber daya manusia, perdagangan,
corss-border supply, dan konsumsi luar negeri. Selain untuk meningkatkan
perdagangan, keberadaan kesepakatan ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah
investasi di wilayah tersebut meliputi sektor-sektor yang telah disepakati,
beberapa di antaranya yaitu jasa transportasi, energi, konstruksi,
telekomunikasi, pariwisata, pendidikan, dan kesehatan. Pertumbuhan industri dan
penataan kembali perekonomian Negara, melalui peningkatan kerjasama ekonomi
antar bangsa, adalah aspek yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan
global. Ini dikarenakan hal tersebut dapat merangsang pertumbuhan ekonomi
secara keseluruhan. Oleh karena itu perkembangan positif dalam hubungan ekonomi
antara China dengan Negara-negara ASEAN, dapat membuka perubahan baru dan
sekaligus peluang dalam meningkatkan pertumbuhan industri dan perkembangan
ekonomi yang saling menguntungkan. Kerjasama dalam membangun factor-faktor
domestic, yang dianggap vital bagi perkembangan perekonomian kedua Negara, juga
akan sangat penting sebagai sarana pemenuhan kebutuhan kedua belah pihak.
Dengan ACFTA diharapkan kedua belah pihak akan dapat mencapai kemajuan ekonomi
dan social bersama.
Pada dasarnya
China dan ASEAN adalah sama-sama Negara berkembang, yang menghadapi berbagai
permasalahan seperti kebutuhan akan modal asing, kepentingan perluasan dalam
pasar eksport, dan cenderung terbelakang dalam teknologi. Dengan adanya
permasalah tersebut, dapat dapat diperkirakan bahwa kedua belah pihak akan
saling bersaing, baik baik itu dalam hal menarik investasi asing, maupun dalam
mencari pasar bagi hasil produksinya
Kesepakatan
kedua yang juga menandai berakhirnya proses negosiasi ACFTA antara China dan
negara-negara ASEAN adalah Perjanjian Investasi China-ASEAN yang ditandatangani
oleh Menteri Perdagangan China Chen Deming pada bulan Agustus 2009. Kesepakatan
ini ditujukan untuk menciptakan rezim
investasi yang liberal, fasilitatif, transparan, dan kompetitif. Di dalamnya
akan diatur mengenai perlindungan investasi, serta untuk memperkuat kerjasama
di bidang investasi, fasilitasi investasi, dan meningkatkan transparansi
peraturan dan regulasi mengenai investasi.
China tidak
melancarkan strategi khusus untuk menyukseskan pemberlakuan kesepakatan TIS dan
Investasi, hal ini disebabkan karena kesepakatan tersebut merupakan bagian dari
kerjasama komprehensif antara China dan ASEAN yang memang telah direncanakan
sejak awal pembuatan framework. Dalam kesepakatan ini, tiap negara memiliki
aturan khusus yang mengatur mekanisme investasi untuk negara masing-masing.
Pemerintah China hanya melancarkan instrumen-instrument yang selama ini telah
digunakannya untuk mempererat hubungan kedua pihak. Perlu diketahui bahwa
hingga saat ini tujuan utama China adalah menarik sebanyak-banyaknya investasi
dari negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, dan pencapaian tujuan
ini telah didukung melalui penyesuaian kebijakan investasi asing di dalam
negeri China.
E. kesimpulan
China yang pada
masa lalu menganut paham komunis kini bertolak belakang dengan China saat ini,
meskipun symbol-simbol komunis tetap dipertahankan dibidang politik, mereka
menganggap system kendali terpusat oleh Negara merupakan cara paling efektif
untuk mengangkat perekonomian negara. Tranformasi yang demikian masiv di China
berhasil mengangkat harkat hidup rakyat, serta mengubah pola piker dari para
penentang globalisasi menjadi bangsa yang mendukung dan mendorong globalisasi
melalui keterbukaan dan reformasi
Sebagai
kekuatan ekonomi yang sedang bangkit, China membutuhkan banyak bahan baku dan
energi untuk menunjang pembangunanya. Dengan demikian China membutuhkan
kerjasama ekonomi dengan Negara lain. Dicapainya persetujuan antara China-ASEAN
guna membentuk perdagangan bebas pada tahun 2010 akan menjadi perdagangan
terbesar di dunia, menandingi NAFTA di Amerika Utara dan pasar bersama Uni
Eropa. negara-negara ASEAN telah lama mengharapkan intergrasi ekonomi dan
perdagangan bebas sebagai alat untuk meningkatkan daya saing yang merupakan
tuntutan bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi, untuk mengurangi kemiskinan, dan
mewujudkan pembangunan yang setara dan inklusif di dalam ASEAN dan
Negara-negara lain mitra.
China menyadari
perlunya lingkungan regional yang penuh kedamaian dan stabilitas eksternal
untuk dapat lebih konsentrasi di dalam pembangunan negerinya. Selain itu
menjalin hubungan dengan ASEAN dapat bermanfaat bagi China untuk mengimbangi
integrasi ekonomi yang dilakuakan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Salah
satu tujuan untuk membentuk kawasan perdagangan bebas adalah memanfaatkan komplementaritas
yang ada. Sebagai produsen barang-barang manufaktur, China akan
lebih diuntungkan daripada ASEAN.
Negosiasi ACFTA
yang dijalankan China merupakan bentuk keselarasan antara kesepakatan kerjasama
internasional dengan kebijakan dan kepentingan nasional China. Dengan demikian
China dapat meraih manfaat yang lebih bila dibanding dengan negara-negara
ASEAN. Dalam ACFTA China dapat dengan jelas mendefinisikan kepentinganya dan
mampu mengkalkulasi cost and benefit ACFTA sehingga dapat berjalan menurut alternatif
yang dianggap paling menguntungkanya. Penulis menilai sikap China tersebut
dapat menjadi petunjuk terutama bagi negara-negara berkembang yang ingin
mengoptimalkan pembangunan ekonomi.
Pelajaran penting dari sikap China adalah
bahwa di dalam kerjasama sebuah negara seharusnya dapat dengan jelas mengetahui
kekuarangan dan kelebihan yang dimilikinya dan dimiliki oleh calon negara
mitra. Selain itu dapat mendefinisikan apa kepentingan nasional, dan
mendukungnya dengan kebijakan-kebijakan yang solid. Hal tersebut dapat
meminimalisasi dampak negatif yang mungkin terjadi selama berlangsungnya proses
pembangunan, serta dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan
mengetahui secara pasti kerjasama yang dibuat dengan kebijakan dan kepentingan nasional,
negara dapat mengetahui manfaat dari sebuah kerjasama. Dengan demikian negara
dapat menyusun strategi yang tepat untuk mencapai keberhasilan didalam proses
pembuatan kerjasama.
Strategi yang
dilancarkan China dalam mewujudkan pembentukan dan negosiasi ACFTA dapat
menjadi pelajaran bagi seluruh negara yang berkeinginan untuk menjalin
kerjasama dengan negara lain. Hal penting yang harus dipahami adalah sebuah
kerjasama tidak hanya ditujukan untuk mempererat hubungan politik antar negara,
tetapi juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, egara harus
memiliki kesiapan agar kerjasama yang dibuat pada akhirnya idak menjadikan
negara sebagai sapi perah bagi negara lain. Keberhasilan China dalam negosiasi
ACFTA telah memperlihatkan bahwa sikap terbuka dalam persaingan perdagangan
bebas dan kooperatif terhadap kepentingan negara lain merupakan faktor utama
dalam pencapaian kesepakatan sebuah kerjasama.
[1] Komune Pertanian dibubarkan pada
tahun 1978 sebagai bagian dari proses reformasi di China. Para petani yang
sebelumnya terkurung dalam komune dan bekerja untuk komunenya, pascareformasi
memiliki kebebasan untuk menanam apa saja yang mereka sukai, menjual hasil
hasil kerja, dan menikmati keuntungan dari hasil penjualan.
[2] Zuliu Hu
and Mohsin S. Khan, Why Is China Growing
So Fast?, Washington, IMF Publication Service, 1997, hal. 1.
[3] Pasca
tragedi pembantaian di Lapangan Tian’anmen (4 Juni 1989), Deng Xiaoping melihat
potensi China ke arah menutup diri. Oleh karena itu pada tahun 1992 Deng
Xiaoping mengadakan perjalanan ke Shenzhen, Zuhai dan beberapa kota lain di China
untuk mengeluarkan fatwa yaitu, “Perkembangan ekonomi China janganlah seperti
wanita berkaki kecil yang berjalan melenggak-lenggok”. Fatwa ini dikeluarkan
untuk mendobrak kebuntuan ekonomi yang terjadi selama tiga tahun (sejak 1989).
[4] Barry Naughton, The Chinese Economy: Transition and Growth, London, The MIT Press,
2007, hal. 100.
[5] Gaige kaifang atau “reformasi dan
keterbukaan’ adalah slogan yang diciptakan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1978
sebagai jawaban atas revolusi di bidang
teknologi informasi dan transportasi yang melanda China dan seluruh dunia sejak
tahun 1990-an.
[6] Otoriter biasa disebut juga sebagai paham politik otoritarianisme,
adalah bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada
pada negara tanpa melihat derajat kebebasan individu. sistem politik ini
biasanya menentang demokrasi, dan kuasaan pemerintahan pada umumnya diperoleh
tanpa melalui sistim demokrasi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Otoritarianisme).
[7] Rowan Callick, “The China Model”, dalam
The Jurnal of the American Enterprise
Institute, November-Desember 2007.
[8] Most Favoured Nation (MFN): Sebuah prinsip berdasarkan pada perjanjian WTO dimana sebuah
negara tidak dapat melakukan diskriminasi tarif terhadap mitra dagang mereka di
dalam keanggotaan WTO, in line http://www.wto.org diakses pada tanggal 5 Maret 2010.
[9] I Wibowo, Belajar dari China: Bagaimana China Merebut
Peluang dalam Era Globalisasi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2007, hal.
63-64.
[10] Zuliu Hu
and Mohsin S. Khan, loc cit.
[11] John Wong,
“The Emergence of China: Prospects for ASEAN-China Relation”, dalam China’s Development and Prospect of
ASEAN-China Relation: Summary Record of the Regional Seminar, Hanoi, The
Gioi Publishers, 2006, hal. 40.
[12] Zuliu Hu and Mohsin S. Khan, op cit, hal. 2.
[13] Ramkishen Rajan, Emergence of China as an Economic Power: What Does It Imply
for South-East Asia?, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 26(Jun. 28
- Jul. 4 2003, hal 2640.
[14] Alice D. BA, “The Politic and Economics
of “East Asia” in China-ASEAN Relation” dalam China and Southeast Asia: Global Change and Regional Challanges,
ISEAS, 2005, hal. 178.
[15] John Wong, op cit, hal. 47.
[17] Early Harvest Programme (EHP) adalah
program yang dibuat oleh China dan ASEAN untuk mengimplementasikan pengurangan
dan penghapusan tarif lebih awal dari jadwal yang telah disepakati secara umum
bagi produk pertanian tertentu.
[18] Suthipand Chirathivat, “Building ASEAN-China
FTA: Opportunities, Modalities, and Prospects”, dalam ASEAN-China Relation Realities and Prospects, ISEAS, 2005, hal.
242-243.
[19] William D.
Coplin, Pengantar Politik Internasional:
Suatu Telaah Teoretis, cetakan pertama, Bandung, Sinar Baru, 1992, hal. 313
[21] Taktik dan Strategi
Diplomasi (Watson Adam dan Simon Fisher) dalam Simon Fisher, “Working With
Conflict; Skills and Strategies for Action”, Zed Books Ltd., New York,
2000, hal. 96.
[22] Hidataka Yoshimatsu, The Political Economy of Regionalisme in
East Asia, New York, Palgrave Macmillan, 2008, hal. 11.
[23] Joakim Ojendal, Back to the Future? Regionalism in South-East Asia under Unilateral
Presure, International Affairs (Royal Institute of International Affairs
1944), Vol 80, No. 3, Blackwell Publishing on Behalf of the Royal Institute of
International Affairs. hal. 2.
[25] Louise Diamond, Multi-Track Diplomacy: A System Approach to
Peace, Third edition, Kumarian Press. Hal. 11.
[26] Tujuan
Diplomasi, (Kautilya), dalam S.L. Roy, Diplomasi,
Rajawali Press, Jakarta, hal. 6.
[27] S.L. Roy, Diplomasi, Rajawali Press, Jakarta, hal
6.
[28] Diplomasi total adalah diplomasi yang melibatkan semua komponen bangsa dalam suatu
sinergi dan memandang substansi permasalahan secara integratif.
[29] Hidataka Yoshimatsu, The Political Economy of Regionalisme in
East Asia, New York, Palgrave Macmillan, 2008, hal. 11.
[30] Joakim Ojendal, Back to the Future? Regionalism in South-East Asia under Unilateral
Presure, International Affairs (Royal Institute of International Affairs
1944), Vol 80, No. 3, Blackwell Publishing on Behalf of the Royal Institute of
International Affairs. hal. 2.
[33] John Wong, Politik
Perdagangan China di Asia Tenggara, terj. Hasyim Ali, Bumi Aksara, 1987,
hlm.23.
[34] Josep Y.S Cheng. “Sino-ASEAN Relation in
The Early Twenty-First Century”, Contenporary Southeast Asia, Vol. 23, Number.3
(December 2001),p.425
[35] “ASEAN Berencana Menjadi “Pasar Tunggal”
AFTA Sudah Tidak Memadai”, Kompas, 7 Oktober 2003
[36] “Posisi RI
Belum Maksimal di ASEAN+3”, dalam www.irib/service/melayuRADIO/date/Dec/1701.html diakses
tanggal 3 Desember 2010.
[37] John Wong & Sarah Chan, “China_ASEAN
Free Trade Agrement: Shiping Future Economic Relation”, Asian Survey, Vol.
XLIII, 3 May/June 2003, p.509
[38] Medalla, et al., “Impact of ASEAN-China FTA Early
Harvest Program: The Case of the Philippines with Focus on Short-Run Effects on
the Agriculture Sector”,
Research
Paper Series (Philippine Institute for Development Studies), 2007, hal. 6.
[39] Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The
Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China, Product
Coverege, Article 6 (3).
[40]“Pengurangan
Tarif MFN China ASEAN6” Dalam http://www.tariffcommission.gov.ph/briefing_paper_fta.
Diakses 22 April 2011
Langganan:
Postingan (Atom)