Selasa, 15 Desember 2009

Gambaran umum perspektif Realisme

Ketika Realisme menjadi pembahasan dalam Ilmu Hubungan Internasional, asumsi-asumsi yang tidak asing lagi adalah, seseorang yang telah Ilmu Hubungan Internasional adalah skeptisisme kaum realis terhadap kemajuan politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidapan politik domestik. Pandangan atau asumsi inilah yang menjadi tredemark dari realisme itu sendiri. Bahkan sampai saat ini pemikiran tersebut masih dipegang oleh teoritisi Hubungan Internasional yang terkenal. Baik dari masa lalu sampai pada masa sekarang.
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme. Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama.
Ada banyak yang menjadi asumsi dasar yang menjadi ciri khas kaum realis. Salah satu ciri khas pandangan kaum realis adalah, pertama, kaum realis mempunyai pandangan yang pesimis mengenai sifat dasar manusia. Orang realis selalu menilai pada dasarnya manusia adalah jahat. Kedua, kaum realis meyakini bahwa hubungan internasional pada dasarnya berpotensi menghasilkan konflik, dan konflik-konflik internasional yang terjadi akhirnya diselesaikan dengan perang. Yang tidak kalah pentingnya kaum realis menganggap suatu sistem internasional adalah sebuah sistem yang anarki. Pandangan ini muncul oleh karena tidak adanya Government above the states. Oleh karena itu, elemen-elemen yang ada di dalam sistem internasional yang anarki (Negara sebagai aktor utama) harus berjuang sedemikian mungkin untuk membangun kekuatan sehingga menciptakan balance of power. Maka dengan adanya konsep Balance of Power, bagi kaum realis ini dapat mencegah adanya perang.

Realisme Klasik
Pemikiran mengenai realisme sendiri sudah muncul sejak jaman Yunani Kuno. Key Thinkers pada jaman itupun sudah banyak mengungkapkan teori tentang realisme politik yang menjadi haluan bagi pemikir-pemikir kunci realisme pada masa sekarang. pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), Nicollo Machiavelli (1496-1527), Thomas. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism. Realisme klasik menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike Amerika Serikat pada masa postcontainment perang dingin).

Realisme Neoklasik
Hans J. Morgenthau adalah pencetus utama realisme neoklasik. Kutipan yang terkenal mengenai substansi pemikiran Morgenthau adalah “Politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik aksi politik. Disini Morgenthau banyak mengungkapkan kritisisme mengenai kepercayaan Woodrow Wilson mengenai kepercayaanya dalam menganalogikan dan “menyarankan” untuk mengaplikasikan etika pribadi kedalam etika politik. Realisme neoklasik sendiri di definisikan oleh Baylis sebagai drive for power and the will to dominate that are held to be fundamental aspects of human nature.
Pada dasarnya substansi pemikiran kaum realis (klasik) masih menjadi dasar dalam pemikiran realisme baru (Neo Realisme) ini. Perbedaanya dengan realisme klasik maupun realisme neoklasik adalah pendekatan dari dua paham realisme sebelum neorealis adalah pendekatan yang non-sistemik. Pendekatan non-sistemik yang dimaksud adalah, yang “dipersalahkan” atas segala kekerasan yang terjadi di dunia internasional adalah actor ( baik state sebagai aktor utama maupun sifat dasar manusia Animus Dominandi ). Berbeda dengan pendahulunya, kaum neorealis lebih cenderung “mempersalahkan” sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics. Waltz menyatakan the international structure acts as a constraint on state behaviour, so that only states whose outcomes fall within an expected range survive (penekanan bold ditambahkan oleh penulis). Jadi menurut hemat neorealis. Sistem internasional yang menentukan perilaku negara. Oleh karena sistem internasional (pada saat ini) dalam kondisi ketidakadaan government above the states, maka keadaan anarki yang menetukan perilaku setiap actor-aktornya, dalam perspektif realisme disebut sebagai state.

Prespektif Liberalisme

1. Liberalisme Klasik
Kehancuran yang diakibatkan oleh Perang Dunia (PD) I membawa keinginan manusia untuk menghindari perang. Hal inilah yang merupakan titik awal kebangkitan kaum liberalis yang ditandai oleh berdirinya Liga Bangsa-Bangsa. Liberalisme yang merupakan antitesis dari realisme berangkat dari asumsi dasar tentang pandangan positif tentang manusia, keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual dan percaya terhadap kemajuan yang dibawa oleh modernitas. Manusia adalah pada dasarnya baik dan terlahir dengan kecenderungan untuk saling bergantung dan bekerja sama dengan manusia yang lain . Asumsi inilah yang menempatkan individu dan kolektivitas individu sebagai kajian utama. Perhatian dasar liberalisme klasik untuk membedakannya dengan liberalisme yang akan dijelaskan kemudian adalah kebahagiaan dan kesenangan individu. Pikiran-pikiran para scholar yang mendahului aliran ini adalah John Locke dengan pemahaman tentang negara konstitusional, Bentham dengan kajian hukum internasional dan timbal balik serta pemikiran Immanuel Kant tentang perdamaian abadi dan kemajuan. Nilai-nilai dasar yang diusung liberalisme adalah prospek menuju damai, semangat perdagangan, interdependensi dan institusi, hak asasi manusia, serta kesejahteraan.
Liberalisme sendiri beranggapan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat yang baik sehingga terbentuknya sebuah perdamaian bukan merupakan sesuatu yang mustahil. Namun, untuk menciptakan perdamaian, maka ada beberapa sistem yang harus diganti. Pertama sistem aristrocracy harus dirubah menjadi sistem demokrasi. Kedua autarky harus dirubah menjadi free trade. Ketiga balance of power harus di-institusikan menjadi collective security. Perang sendiri dianggap sebagai sebuah hal yang tidak normal dari sifat manusia. Kalangan liberal seperti Kant, Cobden, Schumpeter dan Doyle berpendapat bahwa perang merupakan sebuah ciptaan dari pemerintahan yang tidak demokratis dan militeristik. Kaum liberal percaya bahwa obat yang dapat mencegah perang yaitu dengan perdagangan bebas dan pemerintahan yang demokratis. Lebih dari itu, Kant berpendapat bahwa pacific federation yang menjamin sebuah perdamaian dapat terbentuk dari negara-negara demokratis yang memiliki legalitas. Ekspansi perdamaian dari negara-negara besar ke negara-negara kecil merupakan dasar dari pemikiran dari Fukuyama dalam melihat prospek perdamaian pasca perang dingin.
Neoliberalisme
Perdebatan panjang antara realis dan liberalis tentang human nature kemudian disempurnakan dengan metode ilmiah dalam kerangka pendekatan behavioralis saat Perang Dingin. Aliran ini kemudian disebut sebagai neoliberalisme. Neoliberalisme mengadopsi nilai-nilai dasar liberalisme klasik dengan berbagai penyempurnaan dalam kerangka behavioralisme. Konstruksi ilmiah yang ditekankan oleh kaum behavioralis mengakibatkan aliran ini sudah lebih ’realis’ dengan menerima bahwa tidak semua manusia itu baik. Tetapi penganut aliran ini tetap beranggapan bahwa kedamaian tetap dapat terwujud bila para aktor berinteraksi dapat mewujudkan kerja sama yang kini kerja sama itu diterjemahkan oleh kaum liberalis sebagai perdagangan bebas dan penghargaan hak asasi manusia.
Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah.
Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik.
Kritik
Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal. Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka.
Pendukung antiglobalisasi adalah pihak yang paling lantang menentang neoliberalisme, terutama sekali dalam implementasi "pembebasan arus modal" tetapi tidak ada pembebasan arus tenaga kerja. Salah satu pendapat mereka, kebijakan neoliberal hanya mendorong sebuah "perlombaan menuju dasar" dalam arus modal menuju titik terendah untuk standar lingkungan dan buruh.